- Level N1 = @Rp. 135.000,- (Seratus Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah)
- Level N2 = @Rp. 115.000,- (Seratus Lima Belas Ribu Rupiah)
- Level N3 = @Rp. 105.000,- (Seratus Lima Ribu Rupiah)
- Level N4 = @Rp. 85.000,- (Delapan Puluh Lima Ribu Rupia)
- Level N5 = @Rp. 85.000,- (Delapan Puluh Lima Ribu Rupiah.
JL. Sabang No 19 Bandung 40114 Indonesia, Telp +62-022-4201745, 4211508, 4235779 Fax +62-022-4237201
Wednesday, August 3, 2011
Informasi Ujian Kemampuan Bahasa Jepang 2011
Thursday, July 14, 2011
Biaya Kursus JLCC Tahun 2011
Setiap hari Senin s/d Jumat
mulai jam 08.00 s/d 18.00 wib
Jl. Sabang No 19 Bandung
informasi biaya kursus di JLCC
informasi lebih lengkap silahkan hubungi di Tlp 022-4201745
Wednesday, July 13, 2011
BON ODORI
Tradisi dan ritual seputar Obon bisa berbeda-beda bergantung pada aliran agama Buddha dan daerahnya.
Di berbagai daerah di Jepang, khususnya di daerah Kansai juga dikenal perayaan Jizōbon yang dilakukan seusai perayaan Obon.
Asal Usul
Obon merupakan bentuk singkat dari istilah agama Buddha Urabon yang hanya diambil aksara Kanji terakhirnya saja bon , nampan) ditambah awalan honorifik huruf "O." Pada mulanya, Obon berarti meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para arwah. Selanjutnya, Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal (shōrō) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan berbagai barang persembahan. Di daerah tertentu, Bonsama atau Oshorosama adalah sebutan untuk arwah orang meninggal yang datang semasa perayaan Obon.
Asal-usul tradisi Obon tidak diketahui secara pasti. Tradisi memperingati arwah leluhur di musim panas konon sudah ada di Jepang sejak sekitar abad ke-8.
Sejak dulu di Jepang sudah ada tradisi menyambut kedatangan arwah leluhur yang dipercaya datang mengunjungi anak cucu sebanyak 2 kali setahun sewaktu bulan purnama di permulaan musim semi dan awal musim gugur. Penjelasan lain mengatakan tradisi mengenang orang yang meninggal dilakukan 2 kali, karena awal sampai pertengahan tahun dihitung sebagai satu tahun dan pertengahan tahun sampai akhir tahun juga dihitung sebagai satu tahun.
Di awal musim semi, arwah leluhur datang dalam bentuk Toshigami (salah satu Kami dalam kepercayaan Shinto) dan dirayakan sebagai Tahun Baru Jepang. Di awal musim gugur, arwah leluhur juga datang dan perayaannya secara agama Buddha merupakan sinkretisme dengan Urabon.
Jepang mulai menggunakan kalender Gregorian sejak tanggal 1 Januari 1873, sehingga perayaan Obon di berbagai daerah di Jepang bisa dilangsungkan pada tanggal:
bulan ke-7 hari ke-15 menurut kalender Tempō
15 Juli menurut kalender Gregorian
15 Agustus menurut kalender Gregorian mengikuti perhitungan Tsukiokure (tanggal pada kalender Gregorian selalu lebih lambat 1 bulan dari kalender Tempō).
Pada tanggal 13 Juli 1873 pemerintah daerah Prefektur Yamanashi dan Prefektur Niigata sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō
Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō semakin sedikit. Pada saat ini, orang Jepang umumnya merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus menurut kalender Gregorian.
Orang yang tinggal di daerah Kanto secara turun temurun merayakan Obon pada tanggal 15 Juli kalender Gregorian, termasuk mengunjungi makam pada sebelum tanggal 15 Juli. Pengikut salah satu kuil di Tokyo selalu ingin merayakan Obon pada tanggal 15 Juli sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Juli, sedangkan pengikut kuil di Prefektur Kanagawa selalu ingin merayakan Obon tanggal 15 Agustus sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Agustus.
Media massa memberitakan perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus sehingga orang di seluruh Jepang menjadi ikut-ikutan merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus.
Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam. Obon sama artinya dengan liburan musim panas bagi orang Jepang yang tidak mengerti tradisi agama Buddha.
Ada kemungkinan perayaan Obon mendapat pengaruh dari orang yang mengartikan peristiwa bintang jatuh (hujan meteor) sebagai kedatangan arwah leluhur. Di dalam beberapa kebudayaan, arwah orang yang sudah meninggal sering diumpamakan berubah menjadi bintang, sedangkan peristiwa bintang jatuh paling banyak terjadi bertepatan dengan hujan meteor Perseid tahunan yang mencapai puncaknya beberapa hari sebelum tanggal 15 Agustus.
Tanggal 15 Agustus bagi agama Katolik merupakan hari raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga yang banyak dirayakan di Eropa Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus juga bertepatan dengan hari peringatan berakhirnya perang (Shūsen kinenbi) yang di luar Jepang dikenal sebagai V-J Day (Victory over Japan Day).
Tradisi yang umum
Tradisi dalam merayakan Obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya, tapi ada beberapa tradisi yang umumnya dilakukan orang di seluruh Jepang.
Urut-urutan ritual
Orang Jepang percaya arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut mukaebi untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi permukiman, orang zaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan arwah leluhur.
Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama Buddha dipanggil untuk membacakan sutra bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Buddha sewaktu Obon disebut Tanagyō karena dibacakan di depan altar berisi barang persembahan yang disebut shōrōdana (shōryōdana) atau tana.
Pada tanggal 16 Agustus, arwah leluhur pulang ke alam sana dengan diterangi dengan api yang disebut okuribi.
Bon Odori
Acara menari bersama yang disebut Bon Odori ( tari Obon) dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Buddha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di neraka.
Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas (matsuri) yang diadakan di Jepang. Pelaksanaan Bon Odori memilih saat terang bulan yang kebetulan terjadi pada tanggal 15 Juli atau 16 Juli menurut kalender Tempō. Bon Odori diselenggarakan pada tanggal 16 Juli karena pada malam itu bulan sedang terang-terangnya dan orang bisa menari sampai larut malam.
Belakangan ini, Bon Odori tidak hanya diselenggarakan di lingkungan kuil Shinto. Penyelenggara Bon Odori sering tidak ada hubungan sama sekali dengan organisasi keagamaan. Bon Odori sering dilangsungkan di tanah lapang, di depan stasiun kereta api atau di ruang-ruang terbuka tempat orang banyak berkumpul.
Di tengah-tengah ruang terbuka, penyelenggara mendirikan panggung yang disebut yagura untuk penyanyi dan pemain musik yang mengiringi Bon Odori. Penyelenggara juga sering mengundang pasar malam untuk menciptakan keramaian agar penduduk yang tinggal di sekitarnya mau datang. Bon Odori juga sering digunakan sebagai sarana reuni dengan orang-orang sekampung halaman yang pergi merantau dan pulang ke kampung untuk merayakan Obon.
Belakangan ini, jam pelaksanaan Bon Odori di beberapa tempat yang berdekatan sering diatur agar tidak bentrok dan perebutan pengunjung bisa dihindari. Penyelenggara Bon Odori di kota-kota sering mendapat kesulitan mendapat pengunjung karena penduduk yang tinggal di sekitarnya banyak yang sedang pulang kampung. Ada juga penyelenggara yang sama sekali tidak menyebut acaranya sebagai Bon Odori agar tidak dikait-kaitkan dengan acara keagamaan.
Hatsu-obon dan Niibon
Hatsu-obon atau Niibon adalah sebutan untuk perayaan Obon yang baru pertama kali dialami oleh arwah orang meninggal yang baru saja peringatan 49 harinya selesai diupacarakan. Perlakuan khusus diberikan untuk arwah yang baru pertama kali merayakan Obon dalam bentuk pembacaan doa yang lebih banyak.
Tradisi Hatsu-obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya. Di daerah tertentu, orang yang tinggal di rumah yang baru saja mengalami kematian biasanya memasang lampion berwarna putih di depan pintu masuk rumah dan di makam
Tradisi di berbagai daerah
Ada berbagai tradisi unik di berbagai tempat di Jepang sehubungan dengan perayaan Obon.
Di daerah tertentu ada tradisi membuat kendaraan semacam kuda-kudaan yang disebut Shōryō-uma dari terong dan ketimun. Empat batang korek api atau potongan sumpit sekali pakai (waribashi) ditusukkan pada terong dan ketimun sebagai kaki. Terong berkaki menjadi "sapi" sedangkan ketimun menjadi "kuda" yang kedua-duanya dinaiki arwah leluhur sewaktu datang dan pulang. Kuda dari ketimun bisa lari cepat sehingga arwah leluhur bisa cepat sampai turun ke bumi, sedangkan sapi dari terong hanya bisa berjalan pelan dengan maksud agar arwah leluhur kalau bisa tidak usah cepat-cepat pulang.
Mendoakan setan lapar
Di beberapa daerah dilangsungkan upacara Segaki di kuil agama Buddha untuk menolong Gaki (setan kelaparan) dengan mendirikan pendirian altar yang disebut Gakidana dan mendoakan arwah orang yang meninggal di pinggir jalan.
Lampion Obon
Ada daerah yang mempunyai tradisi memajang lampion perayaan Obon yang disebut bon chochin (lentera bon) dengan maksud agar arwah leluhur bisa menemukan rumah yang dulu pernah ditinggalinya. Bon chochin terbuat dari washi dengan kaki penyangga dari kayu.
Melarung lampion
Beberapa daerah memiliki tradisi tōrōnagashi berupa pelarungan lampion dari washi di sungai sebagai lambang melepas arwah leluhur untuk kembali ke alam sana. Ada daerah yang mempunyai tradisi shōrōnagashi yang menggunakan kapal kecil untuk memuat lampion sebelum dilarung di sungai.
Tuesday, July 5, 2011
JULI : TANABATA FESTIVAL (FESTIVAL BINTANG)
Tanggal festival Tanabata dulunya mengikuti kalender lunisolar yang kira-kira sebulan lebih lambat daripada kalender Gregorian. Sejak kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, perayaan Tanabata diadakan malam tanggal 7 Juli, hari ke-7 bulan ke-7 kalender lunisolar, atau sebulan lebih lambat sekitar tanggal 8 Agustus.
Aksara kanji yang digunakan untuk menulis Tanabata bisa dibaca sebagai shichiseki malam ke-7. Di zaman dulu, perayaan ini juga ditulis dengan aksara kanji yang berbeda, tapi tetap dibaca Tanabata . Tradisi perayaan berasal dari Tiongkok yang diperkenalkan di Jepang pada zaman Nara.
Tanggal perayaan
Di zaman kuno Tiongkok terdapat tradisi merayakan pergantian musim di bulan ke-7 hari ke-7 menurut kalender Tionghoa (bulan ke-7 merupakan bulan pertama di musim gugur). Alasan dan sejak kapan hari ke-7 bulan ke-7 mulai dijadikan hari istimewa tidak diketahui dengan pasti. Literatur tertua yang menceritakan peristiwa di hari tersebut adalah Simin yueling almanak petani karya Cui Shi yang menulis tentang tradisi menjemur atau mengangin-anginkan buku di bawah sinar matahari.
Menurut kalender yang pernah digunakan di Jepang seperti kalender Tempo, Tanabata dirayakan pada hari ke-7 bulan ke-7 sebelum perayaan Obon. Setelah kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, Tanabata dirayakan pada 7 Juli, sedangkan sebagian upacara dilakukan di malam hari tanggal 6 Juli. Di wilayah Jepang sebelah timur seperti Hokkaido dan Sendai, perayaan dilakukan sebulan lebih lambat sekitar 8 Agustus.
Sejarah
Tanabata diperkirakan merupakan sinkretisme antara tradisi Jepang kuno mendoakan arwah leluhur atas keberhasilan panen dan perayaan Qi Qiao Jie asal Tiongkok yang mendoakan kemahiran wanita dalam menenun. Pada awalnya Tanabata merupakan bagian dari perayaan Obon, tapi kemudian dijadikan perayaan terpisah. Daun bambu (sasa) digunakan sebagai hiasan dalam perayaan karena dipercaya sebagai tempat tinggal arwah leluhur.
Legenda Qi Xi pertama kali disebut dalam literatur Gushi shijiu shou (19 puisi lama) asal Dinasti Han yang dikumpulkan kitab antologi Wen Xuan . Selain itu, Qi Xi juga tertulis dalam kitab Jing-Chu suishi ji ( festival dan tradisi tahunan wilayah Jing-Chu) dari zaman Dinasti Utara dan Selatan, dan kitab Catatan Sejarah Agung. Literatur Jing-Chu suishi ji mengisahkan para wanita memasukkan benang berwarna-warni indah ke lubang 7 batang jarum pada malam hari ke-7 bulan ke-7 yang merupakan malam bertemunya Qian Niu dan Zhi Nu, dan persembahan diletakkan berjajar di halaman untuk memohon kepandaian dalam pekerjaan menenun.
Legenda asli Jepang tentang Tanabatatsume dalam kitab Kojiki mengisahkan seorang pelayan wanita (miko) bernama Tanabatatsume yang harus menenun pakaian untuk dewa di tepi sungai, dan menunggu di rumah menenun untuk dijadikan istri semalam sang dewa agar desa terhindar dari bencana. Perayaan Qi Xi dihubungkan dengan legenda Tanabatatsume, dan nama perayaan diubah menjadi "Tanabata". Di zaman Nara, perayaan Tanabata dijadikan salah satu perayaan di istana kaisar yang berhubungan dengan musim. Di dalam kitab antologi puisi waka berjudul Man'yōshū terdapat puisi tentang Tanabata karya Ōtomo no Yakamochi dari zaman Nara. Setelah perayaan Tanabata meluas ke kalangan rakyat biasa di zaman Edo, tema perayaan bergeser dari pekerjaan tenun menenun menjadi kepandaian anak perempuan dalam berbagai keterampilan sebagai persiapan sebelum menikah.
Legenda
Legenda Tanabata di Jepang dan Tiongkok mengisahkan bintang Vega yang merupakan bintang tercerah dalam rasi bintang Lyra sebagai Orihime (Shokujo), putri Raja Langit yang pandai menenun. Bintang Altair yang berada di rasi bintang Aquila dikisahkan sebagai sebagai penggembala sapi bernama Hikoboshi (Kengyū). Hikoboshi rajin bekerja sehingga diizinkan Raja Langit untuk menikahi Orihime. Suami istri Hikoboshi dan Orihime hidup bahagia, tapi Orihime tidak lagi menenun dan Hikoboshi tidak lagi menggembala. Raja Langit sangat marah dan keduanya dipaksa berpisah. Orihime dan Hikoboshi tinggal dipisahkan sungai Amanogawa (galaksi Bima Sakti) dan hanya diizinkan bertemu setahun sekali di malam hari ke-7 bulan ke-7. Kalau kebetulan hujan turun, sungai Amanogawa menjadi meluap dan Orihime tidak bisa menyeberangi sungai untuk bertemu suami. Sekawanan burung kasasagi terbang menghampiri Hikoboshi dan Orihime yang sedang bersedih dan berbaris membentuk jembatan yang melintasi sungai Amanogawa supaya Hikoboshi dan Orihime bisa menyeberang dan bertemu.
Literatur klasik tentang legenda Tanabata melahirkan berbagai macam variasi cerita rakyat di berbagai daerah di Tiongkok. Di beberapa tempat, variasi legenda Tanabata dijadikan naskah sandiwara dan diangkat sebagai naskah Opera Tiongkok. Di antara naskah-naskah yang terkenal seperti Tian he pei dipentaskan sebagai Opera Beijing. Kisahnya tentang penggembala sapi bernama Niulang yang mencuri pakaian salah seorang bidadari bernama Zhinu yang sedang mandi. Niulang menikah dengan Zhinu sampai pada akhirnya bidadari Zhinu harus kembali ke langit. Niulang mengejar Zhinu sampai naik ke langit, tapi ibu Zhinu yang bernama Xi Wangmu (dewi surga) memisahkan tempat tinggal Niulang dan Zhinu dengan sebuah sungai. Cerita ini mirip dengan cerita rakyat Jepang yang berjudul Hagoromo.
Bintang bernama Zhinu dan bintang bernama Niulang pertama kali disebut dalam kitab Shi Jing (kira-kira terbitan 1000 SM), tapi tidak secara pasti menunjuk ke bintang yang spesifik. Dalam kitab Catatan Sejarah Agung asal Dinasti Han Barat, bintang Niulang menunjuk ke rasi bintang lembu dan bintang Zhinu menunjuk ke rasi bintang Kawatsusumi. Sesuai dengan perkembangan legenda Tanabata, bintang Niulang (Hikoboshi) akhirnya menunjuk ke bintang Altair.
Tradisi
Perayaan dilakukan di malam ke-6 bulan ke-7, atau pagi di hari ke-7 bulan ke-7. Sebagian besar upacara dimulai setelah tengah malam (pukul 1 pagi) di hari ke-7 bulan ke-7. Di tengah malam bintang-bintang naik mendekati zenith, dan merupakan saat bintang Altair, bintang Vega, dan galaksi Bima Sakti paling mudah dilihat.
Kemungkinan hari cerah pada hari ke-7 bulan ke-7 kalender Tionghoa lebih besar daripada 7 Juli yang masih merupakan musim panas. Hujan yang turun di malam Tanabata disebut Sairuiu , dan konon berasal dari air mata Orihime dan Hikoboshi yang menangis karena tidak bisa bertemu.
Festival Tanabata dimeriahkan tradisi menulis permohonan di atas tanzaku atau secarik kertas berwarna-warni. Tradisi ini khas Jepang dan sudah ada sejak zaman Edo. Kertas tanzaku terdiri dari 5 warna (hijau, merah, kuning, putih, dan hitam). Di Tiongkok, tali untuk mengikat terdiri dari 5 warna dan bukan kertasnya. Permohonan yang dituliskan pada tanzaku bisa bermacam-macam sesuai dengan keinginan orang yang menulis.
Kertas-kertas tanzaku yang berisi berbagai macam permohonan diikatkan di ranting daun bambu membentuk pohon harapan di hari ke-6 bulan ke-7. Orang yang kebetulan tinggal di dekat laut mempunyai tradisi melarung pohon harapan ke laut sebagai tanda puncak perayaan, tapi kebiasaan ini sekarang makin ditinggalkan orang karena hiasan banyak yang terbuat dari plastik.
Pada saat Tanabata biasanya akan dinyanyikan lagu seperti ini:
Sasano wa sara sara (Sasano* mengalir dengan lancar)
Nokiba ni yureru (Ujungnya bergoyang goyang)
Ohoshisama kira kira (Bintang berkelap kelip)
Kin gin sunago (Bertaburan bagai emas perak)
Goshiki no tanzaku (Berwarna warni harapan dan doa)
Watashi ga kaita (Yang aku tulis)
Ohoshisama kira kira (Bintang berkelap kelip)
Sora kara miteru (Dilihat dari langit)
Tanabata dirayakan secara besar-besaran di berbagai kota, seperti: Sendai, Hiratsuka, Anjo, dan Sagamihara. Perayaan dimulai setelah Perang Dunia II dengan maksud untuk menggairahkan ekonomi, terutama di wilayah Jepang bagian utara.
Di zaman dulu, Sendai sering berkali-kali dilanda kekurangan pangan akibat kekeringan dan musim dingin yang terlalu dingin. Di kalangan penduduk lahir tradisi menulis permohonan di atas secarik kertas tanzaku untuk meminta dijauhkan dari bencana alam. Date Masamune menggunakan perayaan Tanabata untuk memajukan pendidikan bagi kaum wanita, dan hiasan daun bambu mulai terlihat di rumah tinggal kalangan samurai dan penduduk kota. Di zaman Meiji dan zaman Taisho, perayaan dilangsungkan secara kecil-kecilan hingga penyelenggaraan diambil alih pusat perbelanjaan di tahun 1927. Pusat perbelanjaan memasang hiasan Tanabata secara besar-besaran, dan tradisi ini berlanjut hingga sekarang sebagai Sendai Tanabata.
sumber: dari berbagai sumber
Sunday, June 19, 2011
partisispasi JLCC di acara JECUF (Japan Education and Culture Fair)
Informasi bentuk kegiatan Japan Education & Culutre Fair (JECUF) sebagai berikut :
- Olimpiade Bahasa Jepang SMA dan Universitas tingkat Nasional
- Seminar Nasional Pendidikan tentang sistem pendidikan yang ada di Jepang
- Pameran Pendidikan Nasional Universitas Jepang dan Universitas di Indonesia yang membuka Jurursan Sastra Jepang.
- Kongres HIMA Sastra/Bahasa Jepang se Indonesia (dalam rangka pembentukan Ikatan HIMA Sastra Jepang se - Indonesia).
Waktu pelaksanaan
1. Olimpiade Bahasa Jepang akan dilaksanakan pada :
Tanggal : 20-23 Juni 2011
Waktu : 08.00 s.d Selesai
Tempat Pusat Studi Bahasa Jepang UNPAD, Jatinangor, Sumedang.
2. Seminiar Pendidikan Jepang akan dilaksanakan pada
Tanggal :24 Juni 2011
Waktu 08.00 s.d 16.00 wib
Tempat Aula PSBJ UNPAD Sumedang
3. Pameran Pendidikan Jepang akan dilaksanakan ada tanggal 23 Juni 2011
Tanggal : 23 Juni 2011
Waktu : 19.00 s.d selesai
Tempat : Pusat Studi Bahasa Jepang , Sumedang
4. Kongres HIMA Sastra/Bahasa Jepang se Indonesia akan dilaksanakan pada :
Tanggal 2324 Juni 2011
Waktu : 19.00 s.d selesai
Tempat : Aula PSBJ UNPAD Sumedang.
Pembahasan Kegiatan
1. Olimpiade Pendidikan Jepang merupakan ajang bagi mahasiswa dan siswa SMA untuk menunjukan kemampuan dan mengembangkan kreatifitas di bidang pendidikan Jepang dan Olimpiade ini akan diadakan selama 4 hari, adapun dibawah ini merupakan olimpiade yang akan dipertandingkan :
- Speech Contest
- Kanji Contest
- Rodoku Contest
- Sakubun Contest
- Kana Contest
- Monogatari Contest
- Cerdas Cermat Jepang
- Shuuji Contest
- Haiku
- Nihongo Noryokushiken
- Essai Contest
- Karya tulis Ilmiah
2. Seminar nasional pendidikan Jepang yang merupakan rangkaian dari acara Japan Education & Culture Fair ini mempunyai tema tentang "Budaya Tradisional Jepang dan peranannya dalam era Modern". Kegiatan seminar ini akan mengundang permakalah yang dikumpulkan dari setiap draft yang dikirimkan oleh masing masing peserta seminar. Peserta seminar yang dimaksud ialah untuk kegiatan mahasiswa.
3. Pameran pendidikan Jepang ini dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dari setiap orang yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai lembaga pendidikan di Jepang maupun di Indonesia yang berkaitan dengan tema Ke -Jepangan. Dalam kegiatan ini akan diundang beberpa universitas dari Jepang maupun lembaga pendidikan bahasa Jepang serta universitas di Indonesia dan lembaga pembelajaran bahasa Jepang yang ada di Indonesia. Kegiatan ini juga akan mengundang perwakilan Universitas yang memiliki Jurusan Sastra/Bahasa Jepang di universitasnya.
4. Kongres Himpunan Mahasiswa Sastra/Bahasa Jepang se-Indonesia diadakan dalam rangka menjembatani dan memadukan setiap informasi ataupun kegiatan yang diadakan di masing-masing universitas. Kegiatan dilanjutkan juga dengan rencana sidang pembentukan Ikatan Himpunan Mahasiswa Sastra / Bahas Jepang se-Indonesia dna pembentukan agenda folow up kegiatan Ikatan Himpunan Mahasiswa Sastra/Bahasa Jepang.
ditunggu yah kehadirannya ........
Monday, June 6, 2011
Kesan Siswa Manabi asal dari Indonesia
Wulan adalah salah satu siswa MANABI periode April 2011 yang di berangkatkan oleh JLCC Education Consultant
inilah kesan yang di ungkapkan oleh wulan sebagai berikut
Bulan 3 lalu terjadi Tsunami di Jepang, saya sangat terkejut dengan bencana tersebut. Sebelum terjadi Tsunami saya berencana untuk berangkat ke Jepang bulan 3, tapi dikarenakan ada bencana ini saya berangkat bulan 4 lalu. Saya sangat prihatin atas musibah yang menimpa negeri sakura ini. Keluarga di Indonesia sangat khawatir ketika saya akan berangkat ke Jepang karena di berita keadaan Jepang saat itu masih genting sekali. Tetapi saya tetap nekad berangkat ke Jepang. Dan setibanya di Jepang Alhamdulillah semuanya baik-baik saja dan tidak seburuk yang dibayangkan ketika masih di Indonesia. Meskipun waktu awal-awal saya tiba di Jepang masih sangat sering terjadi gempa, tapi tidak sampai menimbulkan hal fatal. Saya selalu berdoa semoga keadaan Jepang cepat pulih seperti biasanya.
Bulan April tanggal 11 lalu, saya mulai belajar di MANABI. Awalnya saya sangat tegang ketika masuk sekolah ini karena saya tau disini banyak murid dari berbagai negara dan saya khawatir tidak bisa berkomunikasi dengan mereka. Tetapi setelah berkenalan dengan teman-teman disini ternyata tidak seburuk yang saya bayangkan. Kekhawatiran saya hilang dan berubah menjadi menyenangkan. Dan guru-guru di sekolah inipun sangat baik dan cara mengajarnyapun sangat mudah dimengerti. Hari demi hari saya lalui di sekolah ini dan suasananyapun makin menyenangkan. Semangat belajarpun makin tinggi karena disini bersaing dengan orang-orang dari berbagai Negara yang sama-sama ingin lancar berbahasa Jepang. Saya berusaha semaksimal mungkin belajar bahasa Jepang disini karena saya ingin melanjutkan kuliah di salah satu Universitas di Tokyo dan saya juga tidak ingin mengecewakan orang tua saya yang sudah membiayai saya sekolah disini. Oleh karena itu saya akan terus semangat dan berusaha semaksimal mungkin sekolah disini.
untuk selengkapnya silahkan klik di tautan di bawah ini:
Wednesday, May 11, 2011
Short Summer Program 4 Juli - 2 Agustus 211
Silahkan bergabung bersama MANABI
SUMMER Short Program MANABI Japanese Language Institute Nagano School menyelenggarakan program belajar jangka pendek 1 bulan ( summer Course ) dengan belajar Bahasa Jepang yang menyenangkan dan efektif serta mendapatkan berbagai macam pengalaman budaya yang menyenangkan di Jepang
Untuk infomasi lebih lengkap mengenai kegiatan ini silahkan menghubungi
JLCC
Jl. Sabang No 19 Bandung
Contact Person : Ibu Neneng
Telp 022 -4201745
E-mail : jeco19@indosat.net.id
Program Summer Course bisa di lihat di bawah ini :
Monday, May 2, 2011
Hari Anak-anak (Kodomo no HI) tanggal 5 Mei
Kebiasaan ini berawal dair pertengahan zaman Edo (1600-1868). Umbul-umbul ini dibuat berdasarkan legenda Cina tentang ikan koi (karper) yang berenang ke atas melawan arus dan menjadi naga. Ikan koi menjadi simbol kesuksesan di Jepang.
Kodomo no HI atau hari anak-anak dirayakan setaip tahunnya pada tanggal 5 mei. Perayaan Kodomo no Hi adalah salah satu dari perayaan tradisional di Jepang. Perayaan yang di kenal dengan nama Tan-go no Sekku ini diperuntukan bagi anak laki-laki (catatan: perayaan untuk anak perempuan, Hinamatsuri dirayakan 3 maret) sejak tahun 1948, tanggal 5 mei dijadikan hari libur nasional dan ditetapkan sebagai hari ank-anak , walaupun hingga saat ini , masih dirayakan sebagai perayaan bagi anak laki-laki.
Pada hari ini, keluarga yang memili anak laki-laki akan memasang koinonori di pekarangan,serta memajang simbol-simbol ksatria, yaitu kbuto (topi perang baja) dan Yozoi (zirah) atuu gogatsu-ningyo (boneka simbol ksatia perang). Adapun gagasan di blaik itu adalah diharapkan anak laki-laki tersebut menjadi manusia yang gagah dan kuat, terhindar dari segala marabahaya karena terlindungi oleh yoroi dan kabuto, serta senantiasa dianugerahi kebahagiaan dalam kehidupan kelak.
Festival Tradisional Selama Bulan Mei - Juli
Monday, March 21, 2011
SAY YES to GAMBARU !
Artikel yang sangat bagus
Terus terang aja, satu kata yang bener2 bikin muak jiwa raga setelah tiba di Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan. Muak abis, sumpah, karena tiap kali bimbingan sama prof, kata-kata penutup selalu : motto gambattekudasai (ayo berjuang lebih lagi), taihen dakedo, isshoni gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama) , motto motto kenkyuu shitekudasai (ayo bikin penelitian lebih dan lebih lagi). Sampai gw rasanya pingin ngomong, apa ngga ada kosa kata lain selain GAMBARU? apaan kek gitu, yang penting bukan gambaru. Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang2 cemen gitu2 aja yang kalo males atau ada banyak rintangan, ya udahlah ya...berhenti aja.
Menurut kamus bahasa jepang sih, gambaru itu artinya : "doko made mo nintai shite doryoku suru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha abis-abisan) Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu karakter "keras" dan "mengencangkan" . Jadi image yang bisa didapat dari paduan karakter ini adalah "mau sesusah apapun itu persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan itu" (maksudnya jangan manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup, namanya hidup emang pada dasarnya susah, jadi jangan ngarep gampang, persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik.).
Terus terang aja, dua tahun saya di jepang, dua tahun juga saya ngga ngerti, kenapa orang2 jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah hidupnya. Bahkan anak umur 3 tahun kayak Joanna pun udah disuruh gambaru di sekolahnya, kayak pake baju di musim dingin mesti yang tipis2 biar ngga manja terhadap cuaca dingin, di dalam sekolah ngga boleh pakai kaos kaki karena kalo telapak kaki langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan, sakit2 dikit cuma ingus meler2 atau demam 37 derajat mah ngga usah bolos sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan, anak akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan penyakitnya itu sendiri. Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil bonceng Joanna, dan saya ngos2an kecapean, otomatis Joanna ngomong : Mama, gambare! mama faitoooo! (mama ayo berjuang, mama ayo fight!). Pokoknya jangan manja sama masalah deh, gambaru sampe titik darah penghabisan it's a must!
Saya bener2 baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting banget dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan 9.0 di jepang bagian timur. Saya tau, bencana alam di indonesia seperti tsunami di Aceh, Nias dan sekitarnya, gempa bumi di Padang , letusan gunung merapi....juga bukanlah hal yang gampang untuk dihadapi.
Tapi, tsunami dan gempa bumi di Jepang kali ini, jauuuuuh lebih parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi dan tsunami terparah dan terbesar di dunia. Wajaaaaaaar banget kalo kemudian pemerintah dan masyarakat jepang panik kebingungan karena bencana ini. Wajaaaaar banget kalo mereka kemudian mulai ngerasa galau, nangis2, ga tau mesti ngapain. Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa "dimaafkan" jika stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu ebiet dan membuat video klip tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah korban bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan.
Bagaimana tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar menyapu habis seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka tidak punya harapan. Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini? Dari hari pertama bencana, Saya nyetel TV dan nungguin lagu-lagu ala ebiet diputar di stasiun TV. Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana alam. Video klip tangisan anak negeri juga gw tunggu2in. Tiga unsur itu (lagu ala ebiet, rekening dompet bencana, video klip tangisan anak negeri), sama sekali ngga disiarkan di TV. Jadi yang ada apaan dong? Ini yang gw lihat di stasiun2 TV :
1. Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada
2. Himbauan pemerintah agar seluruh warga jepang bahu membahu menghadapi bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah tokyo dan tohoku ngga lama-lama terkena mati lampu)
3. Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan pemadaman listrik terencana
4. Tips-tips menghadapi bencana alam
5. nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam
6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah yang terkena bencana
7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga yang terkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di jepang benar-benar bernilai banget harganya)
8. Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang dan tidak emosional : mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita hadapi (government official pake kata norikoeru, yang kalo diterjemahkan secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati
9. Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati :
*ada yang nyari istrinya, belum ketemu2, mukanya udah galau banget, tapi tetap tenang dan ngga emosional, disemangati nenek2 yang ada di tempat pengungsian : gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de (ayo kita berjuang cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan menyerah)
*Tulisan di twitter : ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu, kita mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini; Gelap sekali di Sendai , lalu ada satu titik bintang terlihat terang. Itu bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.
Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan bencana ala gambaru kayak gini, Saya bener-bener merasa malu dan di saat yang bersamaan : kagum dan hormat banget sama warga dan pemerintah Jepang. Ini negeri yang luar biasa, negeri yang sumber daya alamnya terbatas banget, negeri yang alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa dan punya mental sekuat baja, karena : falsafah gambaru-nya itu.
Bisa dibilang, orang-orang jepang ini ngga punya apa-apa selain GAMBARU. Dan, gambaru udah lebih dari cukup untuk menghadapi segala persoalan dalam hidup. Bener banget, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan. Hanya, mental yang apa-apa "nyalahin" Tuhan, bilang2 ini semua kehendakNya, Tuhan marah pada umatNya, Tuhan marah melalui alam maka tanyalah pada rumput yang bergoyang... ..I guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di dalam diri kita, sampai kiamat sekalipun, Saya rasa bangsa kita ngga akan bisa maju.
Kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas semua bencana dan persoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari ngga berani bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup. Jika diperjelas lagi, ngga berani bertanggungjawab itu maksudnya : lari dari masalah, ngga mau ngadepin masalah, main salah2an, ngga mau berjuang dan baru ketemu sedikit rintangan aja udah nangis manja.
Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan, untuk apa Saya menuntut ilmu di Jepang. Ngapain ke Jepang, ngga ada gunanya, kalo mau S2 atau S3 mah, ya di eropa atau amerika sekalian, kalo di Jepang mah nanggung. Begitulah kata beliau. Sempat terpikir juga akan perkataannya itu, iya ya, kalo mau go international ya mestinya ke amrik atau eropa sekalian, bukannya Jepang ini. Toh sama-sama asia , negeri kecil pula dan kalo ga bisa bahasa jepang, ngga akan bisa survive di sini.
Sampai sempat nyesal juga,kenapa saya ngedaleminnya sastra jepang dan bukan sastra inggris atau sastra barat lainnya. Tapi sekarang, saya bisa bilang dengan yakin sama sanak keluarga yang menyatakan ngga ada gunanya saya nuntut ilmu di jepang. Pernyataan beliau adalah salah sepenuhnya. Mental gambaru itu yang paling megang adalah jepang. Dan menjadikan mental gambaru sebagai way of life adalah lebih berharga daripada go international dan sejenisnya itu. Benar, sastra Jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di mana saja.
Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang abis-abisan biar udah ngga ada jalan, saya rasa, salah satu tempat yang ideal untuk memahami semua itu adalah di jepang. Dan saya bersyukur ada di sini, saat ini. Maka, mulai hari ini, jika saya mendengar kata gambaru, entah di kampus, di mall, di iklan-iklan TV, di supermarket, di sekolahnya joanna atau di mana pun itu,saya tidak akan lagi merasa muak jiwa raga.
Sebaliknya, saya akan berucap dengan rendah hati : Indonesia jin no watashi ni gambaru no seishin to imi wo oshietekudasatte, kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin no minasan no yoo ni, gambaru seishin wo mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai to omoimasu. (Saya ucapkan terima kasih dari dasar hati saya karena telah mengajarkan arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia . Saya akan berjuang tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya, seperti kalian semuanya, orang-orang Jepang).
sumber: n n
Sunday, March 13, 2011
Pray for Japan
ini adalah artikel foto mengenai foto beberapa tempat di jepang sebelum dan setelah diterjang Tsunami. pemukiman penduduk yang banyak terdapat di sepanjang bibir pantai. tetapi kesiapan mereka sudah disiapkan oleh semua pihak. di luar kondisi yang rusak nampaknya kita harus lebih banyak belajar mengenai kesiapsiagaan bencana di Indonesia yang notabene merupakan negara dengan resiko bencana tinggi.
http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.abc.net.au%2Fnews%2Fevents%2Fjapan-quake-2011%2Fbeforeafter.htm&h=99c64fKeCBOGBz99uuzhSz5Kaiw
Video saat saat terjadinya tusnami maret 2011
http://www.youtube.com/watch?v=7uCZ3D3FZDk
Friday, March 4, 2011
Pengambilan Certificate Japanese Language Proficiency
Monday, February 28, 2011
HINAMATSURI 雛祭り
Satu set boneka biasanya dilengkapi dengan miniatur tirai lipat(byōbu) berwarna emas untuk dipasang sebagai latar belakang. Di sisi kiri dan kanan diletakkan sepasang miniatur lampion(bombori). Perlengkapan lain berupa miniatur pohon sakura dan pohon tachibana, potongan dahan bunga persik sebagai hiasan.
Dua boneka yang melambangkan kaisar (o-dairi-sama) dan permaisuri (o-hina-sama) diletakkan di tangga paling atas. Dalam bahasa Jepang, dairi berarti "istana kaisar", dan hina berarti "sang putri" atau "anak perempuan". Wilayah Kansai dan Kanto memiliki urutan kanan-kiri yang berbeda dalam penempatan boneka kaisar dan permaisuri, namun susunan boneka di setiap anak tangga berikutnya selalu sama.
Tiga boneka puteri istana (san-nin kanjo) diletakkan di tangga kedua. Ketiga puteri istana membawa peralatan minum sake. Boneka puteri istana yang paling tengah membawa mangkuk sake (sakazuki) yang diletakkan di atas sampō. Dua boneka puteri istana yang lain membawa poci sake (kuwae no chōshi), dan wadah sake yang disebut (nagae no chōshi). Gigi salah satu boneka puteri istana dihitamkan (ohaguro) dan alisnya dicukur habis. Dalam boneka versi Kyoto, puteri istana yang paling tengah dari Kyoto membawa shimadai (hiasan tanda kebahagiaan dari daun pinus, daun bambu, dan bunga ume).
Lima boneka pemusik pria (go-nin bayashi) berada di tangga ketiga. Empat musisi masing-masing membawa alat musik, kecuali penyanyi yang membawa kipas lipat. Alat musik yang dibawa masing-masing pemusik adalah taiko, ōkawa, kotsuzumi, dan seruling.
Dua boneka menteri (daijin) yang terdiri dari Menteri Kanan (Udaijin) dan Menteri Kiri (Sadaijin) berada di tangga ke-4. Boneka Menteri Kanan digambarkan masih muda, sedangkan boneka Menteri Kiri tampak jauh lebih tua. Dari sudut pandang pengamat, Menteri Kanan berada di sebelah kiri, sedangkan Menteri Kiri berada di sebelah kanan.
Pada tangga kelima diletakkan tiga boneka pesuruh pria (shichō). Ketiganya masing-masing membawa bungkusan berisi topi (daigasa) yang dibawa dengan sebilah tongkat, sepatu yang diletakkan di atas sebuah nampan, dan payung panjang dalam keadaan tertutup. Dalam boneka versi lain, pesuruh pria membawa penggaruk dari bambu (kumade) dan sapu.Selanjutnya, kereta sapi dan berbagai miniatur mebel yang dijadikan hadiah pernikahan diletakkan di atas tangga-tangga di bawahnya
Tuesday, January 18, 2011
Edu Fair 2011
Event Education Fair 2011 adalah wahana pertemuan antara perguruan tinggi dengan para siswa SMA untuk membantu para siswa memahami dan mengenal program studi yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya masing-masing, sebagai suatu bentuk kerjasama antara SMA Negeri 5 Bandung dengan sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta baik di dalam negeri maupun luar negeri, dan untuk mengetahui berbagai jenis program studi di setiap perguruan tinggi serta prospek kerja yang tersedia.
Sekilas JLCC
BIaya kursus JLCC 2009
PROGRAM STUDI DI JLCC
Kelas Reguler
Tingkat Dasar 1 (Shokyu Nihongo 1)
Tingkat Dasar 2 (Shokyu Nihongo 2)
Tingkat Dasar 3 (Shokyu Nihongo 3)
Tingkat Dasar 4 (Shokyu Nihongo 4)
Keterangan
setiap tingkat ditempuh dalam waktu 4 bulan
Jumlah pertemuan 1 minggu 2 x 90 menit
minimal 10 peserta / kelas
Kelas Lanjutan
Tingkat Lanjutan 1 (Chukyu Nihongo 1)
Tingkat Lanjutan 2 (Chukyu Nihongo 2)
Tingkat Lanjutan 3 (Chukyu Nihongo 3)
Keterangan
setiap tingkat ditempuh dalam waktu 4 bulan
jumlah peremuan 1 minggu 2 x 90 menit
Minimal 10 peserta / kelas
Kelas Intensive
Materi pengajaran, biaya pendaftaran & biaya Kursus kelas Intensive ini pada dasarnya sama dengan kelas reguler, hanya waktu pelaksanaan dipadatkan menjadi 2 bulan dengan jumlah pertemuna 4 x 1 minggu, masing masing pertemuan 90 menit
Kelas Percakapan (KAIWA)
Percakapan Dasar (KAIWA 1)
Percakapan Lanjutan (KAIWA 2)
Percakapan Lanjutan (KAIWA 3)
Keterangan
Setiap tingkat ditempuh dalam waktu 4 bulan
Jumlah pertemuan 1 mingu 2 x 90 menit
Minimal 5 peserta/kelas
Kelas Percakapan ini diperuntukan bagai siswa yang minimal sudah menyelesaikan Tingkat Dasar 3 (Shokyu Nihongo 3) atau setara dengan itu.
Selain paket paket program tersebut di atas, JLCC juga menyediakan beberapa paket lain seperti Kelas Private, Kelas Bahasa Indonesia untuk orang Jepang, menerima penerjemahan, menyediakan tenaga Interpreter dan lain lain.