Thursday, July 14, 2011

Sekilas tentang JLCC Bandung

Informasi tentang Japanese Language & Culture Centre (JLCC) Bandung







Biaya Kursus JLCC Tahun 2011

Dibuka Pendaftaran kursus bahasa Jepang
Setiap hari Senin s/d Jumat
mulai jam 08.00 s/d 18.00 wib
Jl. Sabang No 19 Bandung

informasi biaya kursus di JLCC












informasi lebih lengkap silahkan hubungi di Tlp 022-4201745

Wednesday, July 13, 2011

BON ODORI

Obon adalah serangkaian upacara dan tradisi di Jepang untuk merayakan kedatangan arwah leluhur yang dilakukan seputar tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō (kalender lunisolar). Pada umumnya, Obon dikenal sebagai upacara yang berkaitan dengan agama Buddha Jepang, tapi banyak sekali tradisi dalam perayaan Obon yang tidak bisa dijelaskan dengan dogma agama Buddha. Obon dalam bentuk seperti sekarang ini merupakan sinkretisme dari tradisi turun temurun masyarakat Jepang dengan upacara agama Buddha yang disebut Urabon
Tradisi dan ritual seputar Obon bisa berbeda-beda bergantung pada aliran agama Buddha dan daerahnya.
Di berbagai daerah di Jepang, khususnya di daerah Kansai juga dikenal perayaan Jizōbon yang dilakukan seusai perayaan Obon.


Asal Usul

Obon merupakan bentuk singkat dari istilah agama Buddha Urabon yang hanya diambil aksara Kanji terakhirnya saja bon , nampan) ditambah awalan honorifik huruf "O." Pada mulanya, Obon berarti meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para arwah. Selanjutnya, Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal (shōrō) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan berbagai barang persembahan. Di daerah tertentu, Bonsama atau Oshorosama adalah sebutan untuk arwah orang meninggal yang datang semasa perayaan Obon.
Asal-usul tradisi Obon tidak diketahui secara pasti. Tradisi memperingati arwah leluhur di musim panas konon sudah ada di Jepang sejak sekitar abad ke-8.
Sejak dulu di Jepang sudah ada tradisi menyambut kedatangan arwah leluhur yang dipercaya datang mengunjungi anak cucu sebanyak 2 kali setahun sewaktu bulan purnama di permulaan musim semi dan awal musim gugur. Penjelasan lain mengatakan tradisi mengenang orang yang meninggal dilakukan 2 kali, karena awal sampai pertengahan tahun dihitung sebagai satu tahun dan pertengahan tahun sampai akhir tahun juga dihitung sebagai satu tahun.
Di awal musim semi, arwah leluhur datang dalam bentuk Toshigami (salah satu Kami dalam kepercayaan Shinto) dan dirayakan sebagai Tahun Baru Jepang. Di awal musim gugur, arwah leluhur juga datang dan perayaannya secara agama Buddha merupakan sinkretisme dengan Urabon.
Jepang mulai menggunakan kalender Gregorian sejak tanggal 1 Januari 1873, sehingga perayaan Obon di berbagai daerah di Jepang bisa dilangsungkan pada tanggal:
bulan ke-7 hari ke-15 menurut kalender Tempō
15 Juli menurut kalender Gregorian
15 Agustus menurut kalender Gregorian mengikuti perhitungan Tsukiokure (tanggal pada kalender Gregorian selalu lebih lambat 1 bulan dari kalender Tempō).
Pada tanggal 13 Juli 1873 pemerintah daerah Prefektur Yamanashi dan Prefektur Niigata sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō
Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō semakin sedikit. Pada saat ini, orang Jepang umumnya merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus menurut kalender Gregorian.
Orang yang tinggal di daerah Kanto secara turun temurun merayakan Obon pada tanggal 15 Juli kalender Gregorian, termasuk mengunjungi makam pada sebelum tanggal 15 Juli. Pengikut salah satu kuil di Tokyo selalu ingin merayakan Obon pada tanggal 15 Juli sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Juli, sedangkan pengikut kuil di Prefektur Kanagawa selalu ingin merayakan Obon tanggal 15 Agustus sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Agustus.
Media massa memberitakan perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus sehingga orang di seluruh Jepang menjadi ikut-ikutan merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus.
Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam. Obon sama artinya dengan liburan musim panas bagi orang Jepang yang tidak mengerti tradisi agama Buddha.
Ada kemungkinan perayaan Obon mendapat pengaruh dari orang yang mengartikan peristiwa bintang jatuh (hujan meteor) sebagai kedatangan arwah leluhur. Di dalam beberapa kebudayaan, arwah orang yang sudah meninggal sering diumpamakan berubah menjadi bintang, sedangkan peristiwa bintang jatuh paling banyak terjadi bertepatan dengan hujan meteor Perseid tahunan yang mencapai puncaknya beberapa hari sebelum tanggal 15 Agustus.
Tanggal 15 Agustus bagi agama Katolik merupakan hari raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga yang banyak dirayakan di Eropa Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus juga bertepatan dengan hari peringatan berakhirnya perang (Shūsen kinenbi) yang di luar Jepang dikenal sebagai V-J Day (Victory over Japan Day).





Tradisi yang umum
Tradisi dalam merayakan Obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya, tapi ada beberapa tradisi yang umumnya dilakukan orang di seluruh Jepang.



Urut-urutan ritual
Iwaki

Orang Jepang percaya arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut mukaebi untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi permukiman, orang zaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan arwah leluhur.
Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama Buddha dipanggil untuk membacakan sutra bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Buddha sewaktu Obon disebut Tanagyō karena dibacakan di depan altar berisi barang persembahan yang disebut shōrōdana (shōryōdana) atau tana.
Pada tanggal 16 Agustus, arwah leluhur pulang ke alam sana dengan diterangi dengan api yang disebut okuribi.



Bon Odori



BON ODORI, córdoba
Acara menari bersama yang disebut Bon Odori ( tari Obon) dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Buddha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di neraka.
Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas (matsuri) yang diadakan di Jepang. Pelaksanaan Bon Odori memilih saat terang bulan yang kebetulan terjadi pada tanggal 15 Juli atau 16 Juli menurut kalender Tempō. Bon Odori diselenggarakan pada tanggal 16 Juli karena pada malam itu bulan sedang terang-terangnya dan orang bisa menari sampai larut malam.
Belakangan ini, Bon Odori tidak hanya diselenggarakan di lingkungan kuil Shinto. Penyelenggara Bon Odori sering tidak ada hubungan sama sekali dengan organisasi keagamaan. Bon Odori sering dilangsungkan di tanah lapang, di depan stasiun kereta api atau di ruang-ruang terbuka tempat orang banyak berkumpul.
Di tengah-tengah ruang terbuka, penyelenggara mendirikan panggung yang disebut yagura untuk penyanyi dan pemain musik yang mengiringi Bon Odori. Penyelenggara juga sering mengundang pasar malam untuk menciptakan keramaian agar penduduk yang tinggal di sekitarnya mau datang. Bon Odori juga sering digunakan sebagai sarana reuni dengan orang-orang sekampung halaman yang pergi merantau dan pulang ke kampung untuk merayakan Obon.
Belakangan ini, jam pelaksanaan Bon Odori di beberapa tempat yang berdekatan sering diatur agar tidak bentrok dan perebutan pengunjung bisa dihindari. Penyelenggara Bon Odori di kota-kota sering mendapat kesulitan mendapat pengunjung karena penduduk yang tinggal di sekitarnya banyak yang sedang pulang kampung. Ada juga penyelenggara yang sama sekali tidak menyebut acaranya sebagai Bon Odori agar tidak dikait-kaitkan dengan acara keagamaan.



Hatsu-obon dan Niibon
Hatsu-obon atau Niibon adalah sebutan untuk perayaan Obon yang baru pertama kali dialami oleh arwah orang meninggal yang baru saja peringatan 49 harinya selesai diupacarakan. Perlakuan khusus diberikan untuk arwah yang baru pertama kali merayakan Obon dalam bentuk pembacaan doa yang lebih banyak.
Tradisi Hatsu-obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya. Di daerah tertentu, orang yang tinggal di rumah yang baru saja mengalami kematian biasanya memasang lampion berwarna putih di depan pintu masuk rumah dan di makam




Tradisi di berbagai daerah

Ada berbagai tradisi unik di berbagai tempat di Jepang sehubungan dengan perayaan Obon.

Di daerah tertentu ada tradisi membuat kendaraan semacam kuda-kudaan yang disebut Shōryō-uma dari terong dan ketimun. Empat batang korek api atau potongan sumpit sekali pakai (waribashi) ditusukkan pada terong dan ketimun sebagai kaki. Terong berkaki menjadi "sapi" sedangkan ketimun menjadi "kuda" yang kedua-duanya dinaiki arwah leluhur sewaktu datang dan pulang. Kuda dari ketimun bisa lari cepat sehingga arwah leluhur bisa cepat sampai turun ke bumi, sedangkan sapi dari terong hanya bisa berjalan pelan dengan maksud agar arwah leluhur kalau bisa tidak usah cepat-cepat pulang.
Mendoakan setan lapar
Di beberapa daerah dilangsungkan upacara Segaki di kuil agama Buddha untuk menolong Gaki (setan kelaparan) dengan mendirikan pendirian altar yang disebut Gakidana dan mendoakan arwah orang yang meninggal di pinggir jalan.




Lampion Obon
Lampions

Ada daerah yang mempunyai tradisi memajang lampion perayaan Obon yang disebut bon chochin (lentera bon) dengan maksud agar arwah leluhur bisa menemukan rumah yang dulu pernah ditinggalinya. Bon chochin terbuat dari washi dengan kaki penyangga dari kayu.




Melarung lampion
Beberapa daerah memiliki tradisi tōrōnagashi berupa pelarungan lampion dari washi di sungai sebagai lambang melepas arwah leluhur untuk kembali ke alam sana. Ada daerah yang mempunyai tradisi shōrōnagashi yang menggunakan kapal kecil untuk memuat lampion sebelum dilarung di sungai.








Tuesday, July 5, 2011

JULI : TANABATA FESTIVAL (FESTIVAL BINTANG)

Tanabata atau Festival Bintang adalah salah satu perayaan yang berkaitan dengan musim di Jepang, Tiongkok, dan Korea. Perayaan besar-besaran dilakukan di kota-kota di Jepang, termasuk di antaranya kota Sendai dengan festival Sendai Tanabata. Di Tiongkok, perayaan ini disebut Qi Xi.
Tanggal festival Tanabata dulunya mengikuti kalender lunisolar yang kira-kira sebulan lebih lambat daripada kalender Gregorian. Sejak kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, perayaan Tanabata diadakan malam tanggal 7 Juli, hari ke-7 bulan ke-7 kalender lunisolar, atau sebulan lebih lambat sekitar tanggal 8 Agustus.
Aksara kanji yang digunakan untuk menulis Tanabata bisa dibaca sebagai shichiseki malam ke-7. Di zaman dulu, perayaan ini juga ditulis dengan aksara kanji yang berbeda, tapi tetap dibaca Tanabata . Tradisi perayaan berasal dari Tiongkok yang diperkenalkan di Jepang pada zaman Nara.

Tanggal perayaan

Di zaman kuno Tiongkok terdapat tradisi merayakan pergantian musim di bulan ke-7 hari ke-7 menurut kalender Tionghoa (bulan ke-7 merupakan bulan pertama di musim gugur). Alasan dan sejak kapan hari ke-7 bulan ke-7 mulai dijadikan hari istimewa tidak diketahui dengan pasti. Literatur tertua yang menceritakan peristiwa di hari tersebut adalah Simin yueling almanak petani karya Cui Shi yang menulis tentang tradisi menjemur atau mengangin-anginkan buku di bawah sinar matahari.
Menurut kalender yang pernah digunakan di Jepang seperti kalender Tempo, Tanabata dirayakan pada hari ke-7 bulan ke-7 sebelum perayaan Obon. Setelah kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, Tanabata dirayakan pada 7 Juli, sedangkan sebagian upacara dilakukan di malam hari tanggal 6 Juli. Di wilayah Jepang sebelah timur seperti Hokkaido dan Sendai, perayaan dilakukan sebulan lebih lambat sekitar 8 Agustus.
Sejarah
Tanabata diperkirakan merupakan sinkretisme antara tradisi Jepang kuno mendoakan arwah leluhur atas keberhasilan panen dan perayaan Qi Qiao Jie asal Tiongkok yang mendoakan kemahiran wanita dalam menenun. Pada awalnya Tanabata merupakan bagian dari perayaan Obon, tapi kemudian dijadikan perayaan terpisah. Daun bambu (sasa) digunakan sebagai hiasan dalam perayaan karena dipercaya sebagai tempat tinggal arwah leluhur.
Legenda Qi Xi pertama kali disebut dalam literatur Gushi shijiu shou (19 puisi lama) asal Dinasti Han yang dikumpulkan kitab antologi Wen Xuan . Selain itu, Qi Xi juga tertulis dalam kitab Jing-Chu suishi ji ( festival dan tradisi tahunan wilayah Jing-Chu) dari zaman Dinasti Utara dan Selatan, dan kitab Catatan Sejarah Agung. Literatur Jing-Chu suishi ji mengisahkan para wanita memasukkan benang berwarna-warni indah ke lubang 7 batang jarum pada malam hari ke-7 bulan ke-7 yang merupakan malam bertemunya Qian Niu dan Zhi Nu, dan persembahan diletakkan berjajar di halaman untuk memohon kepandaian dalam pekerjaan menenun.
Legenda asli Jepang tentang Tanabatatsume dalam kitab Kojiki mengisahkan seorang pelayan wanita (miko) bernama Tanabatatsume yang harus menenun pakaian untuk dewa di tepi sungai, dan menunggu di rumah menenun untuk dijadikan istri semalam sang dewa agar desa terhindar dari bencana. Perayaan Qi Xi dihubungkan dengan legenda Tanabatatsume, dan nama perayaan diubah menjadi "Tanabata". Di zaman Nara, perayaan Tanabata dijadikan salah satu perayaan di istana kaisar yang berhubungan dengan musim. Di dalam kitab antologi puisi waka berjudul Man'yōshū terdapat puisi tentang Tanabata karya Ōtomo no Yakamochi dari zaman Nara. Setelah perayaan Tanabata meluas ke kalangan rakyat biasa di zaman Edo, tema perayaan bergeser dari pekerjaan tenun menenun menjadi kepandaian anak perempuan dalam berbagai keterampilan sebagai persiapan sebelum menikah.




Legenda
Legenda Tanabata di Jepang dan Tiongkok mengisahkan bintang Vega yang merupakan bintang tercerah dalam rasi bintang Lyra sebagai Orihime (Shokujo), putri Raja Langit yang pandai menenun. Bintang Altair yang berada di rasi bintang Aquila dikisahkan sebagai sebagai penggembala sapi bernama Hikoboshi (Kengyū). Hikoboshi rajin bekerja sehingga diizinkan Raja Langit untuk menikahi Orihime. Suami istri Hikoboshi dan Orihime hidup bahagia, tapi Orihime tidak lagi menenun dan Hikoboshi tidak lagi menggembala. Raja Langit sangat marah dan keduanya dipaksa berpisah. Orihime dan Hikoboshi tinggal dipisahkan sungai Amanogawa (galaksi Bima Sakti) dan hanya diizinkan bertemu setahun sekali di malam hari ke-7 bulan ke-7. Kalau kebetulan hujan turun, sungai Amanogawa menjadi meluap dan Orihime tidak bisa menyeberangi sungai untuk bertemu suami. Sekawanan burung kasasagi terbang menghampiri Hikoboshi dan Orihime yang sedang bersedih dan berbaris membentuk jembatan yang melintasi sungai Amanogawa supaya Hikoboshi dan Orihime bisa menyeberang dan bertemu.
Literatur klasik tentang legenda Tanabata melahirkan berbagai macam variasi cerita rakyat di berbagai daerah di Tiongkok. Di beberapa tempat, variasi legenda Tanabata dijadikan naskah sandiwara dan diangkat sebagai naskah Opera Tiongkok. Di antara naskah-naskah yang terkenal seperti Tian he pei dipentaskan sebagai Opera Beijing. Kisahnya tentang penggembala sapi bernama Niulang yang mencuri pakaian salah seorang bidadari bernama Zhinu yang sedang mandi. Niulang menikah dengan Zhinu sampai pada akhirnya bidadari Zhinu harus kembali ke langit. Niulang mengejar Zhinu sampai naik ke langit, tapi ibu Zhinu yang bernama Xi Wangmu (dewi surga) memisahkan tempat tinggal Niulang dan Zhinu dengan sebuah sungai. Cerita ini mirip dengan cerita rakyat Jepang yang berjudul Hagoromo.
Bintang bernama Zhinu dan bintang bernama Niulang pertama kali disebut dalam kitab Shi Jing (kira-kira terbitan 1000 SM), tapi tidak secara pasti menunjuk ke bintang yang spesifik. Dalam kitab Catatan Sejarah Agung asal Dinasti Han Barat, bintang Niulang menunjuk ke rasi bintang lembu dan bintang Zhinu menunjuk ke rasi bintang Kawatsusumi. Sesuai dengan perkembangan legenda Tanabata, bintang Niulang (Hikoboshi) akhirnya menunjuk ke bintang Altair.

Tradisi
Perayaan dilakukan di malam ke-6 bulan ke-7, atau pagi di hari ke-7 bulan ke-7. Sebagian besar upacara dimulai setelah tengah malam (pukul 1 pagi) di hari ke-7 bulan ke-7. Di tengah malam bintang-bintang naik mendekati zenith, dan merupakan saat bintang Altair, bintang Vega, dan galaksi Bima Sakti paling mudah dilihat.
Kemungkinan hari cerah pada hari ke-7 bulan ke-7 kalender Tionghoa lebih besar daripada 7 Juli yang masih merupakan musim panas. Hujan yang turun di malam Tanabata disebut Sairuiu , dan konon berasal dari air mata Orihime dan Hikoboshi yang menangis karena tidak bisa bertemu.
Festival Tanabata dimeriahkan tradisi menulis permohonan di atas tanzaku atau secarik kertas berwarna-warni. Tradisi ini khas Jepang dan sudah ada sejak zaman Edo. Kertas tanzaku terdiri dari 5 warna (hijau, merah, kuning, putih, dan hitam). Di Tiongkok, tali untuk mengikat terdiri dari 5 warna dan bukan kertasnya. Permohonan yang dituliskan pada tanzaku bisa bermacam-macam sesuai dengan keinginan orang yang menulis.
Kertas-kertas tanzaku yang berisi berbagai macam permohonan diikatkan di ranting daun bambu membentuk pohon harapan di hari ke-6 bulan ke-7. Orang yang kebetulan tinggal di dekat laut mempunyai tradisi melarung pohon harapan ke laut sebagai tanda puncak perayaan, tapi kebiasaan ini sekarang makin ditinggalkan orang karena hiasan banyak yang terbuat dari plastik.
Pada saat Tanabata biasanya akan dinyanyikan lagu seperti ini:
Sasano wa sara sara (Sasano* mengalir dengan lancar)
Nokiba ni yureru (Ujungnya bergoyang goyang)
Ohoshisama kira kira (Bintang berkelap kelip)
Kin gin sunago (Bertaburan bagai emas perak)
Goshiki no tanzaku (Berwarna warni harapan dan doa)
Watashi ga kaita (Yang aku tulis)
Ohoshisama kira kira (Bintang berkelap kelip)
Sora kara miteru (Dilihat dari langit)







*Sasano = Perahu yang terbuat dari lipatan daun bambu*




Sendai Tanabata









Perayaan di berbagai daerah
Tanabata dirayakan secara besar-besaran di berbagai kota, seperti: Sendai, Hiratsuka, Anjo, dan Sagamihara. Perayaan dimulai setelah Perang Dunia II dengan maksud untuk menggairahkan ekonomi, terutama di wilayah Jepang bagian utara.
Di zaman dulu, Sendai sering berkali-kali dilanda kekurangan pangan akibat kekeringan dan musim dingin yang terlalu dingin. Di kalangan penduduk lahir tradisi menulis permohonan di atas secarik kertas tanzaku untuk meminta dijauhkan dari bencana alam. Date Masamune menggunakan perayaan Tanabata untuk memajukan pendidikan bagi kaum wanita, dan hiasan daun bambu mulai terlihat di rumah tinggal kalangan samurai dan penduduk kota. Di zaman Meiji dan zaman Taisho, perayaan dilangsungkan secara kecil-kecilan hingga penyelenggaraan diambil alih pusat perbelanjaan di tahun 1927. Pusat perbelanjaan memasang hiasan Tanabata secara besar-besaran, dan tradisi ini berlanjut hingga sekarang sebagai Sendai Tanabata.








2006-07_Japan_110



sumber: dari berbagai sumber

Sekilas JLCC


BIaya kursus JLCC 2009

PROGRAM STUDI DI JLCC

Dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat, JLCC menyelenggarakan :

Kelas Reguler
Tingkat Dasar 1 (Shokyu Nihongo 1)
Tingkat Dasar 2 (Shokyu Nihongo 2)
Tingkat Dasar 3 (Shokyu Nihongo 3)
Tingkat Dasar 4 (Shokyu Nihongo 4)

Keterangan
setiap tingkat ditempuh dalam waktu 4 bulan
Jumlah pertemuan 1 minggu 2 x 90 menit
minimal 10 peserta / kelas

Kelas Lanjutan
Tingkat Lanjutan 1 (Chukyu Nihongo 1)
Tingkat Lanjutan 2 (Chukyu Nihongo 2)
Tingkat Lanjutan 3 (Chukyu Nihongo 3)

Keterangan
setiap tingkat ditempuh dalam waktu 4 bulan
jumlah peremuan 1 minggu 2 x 90 menit
Minimal 10 peserta / kelas

Kelas Intensive
Materi pengajaran, biaya pendaftaran & biaya Kursus kelas Intensive ini pada dasarnya sama dengan kelas reguler, hanya waktu pelaksanaan dipadatkan menjadi 2 bulan dengan jumlah pertemuna 4 x 1 minggu, masing masing pertemuan 90 menit

Kelas Percakapan (KAIWA)
Percakapan Dasar (KAIWA 1)
Percakapan Lanjutan (KAIWA 2)
Percakapan Lanjutan (KAIWA 3)

Keterangan
Setiap tingkat ditempuh dalam waktu 4 bulan
Jumlah pertemuan 1 mingu 2 x 90 menit
Minimal 5 peserta/kelas

Kelas Percakapan ini diperuntukan bagai siswa yang minimal sudah menyelesaikan Tingkat Dasar 3 (Shokyu Nihongo 3) atau setara dengan itu.

Selain paket paket program tersebut di atas, JLCC juga menyediakan beberapa paket lain seperti Kelas Private, Kelas Bahasa Indonesia untuk orang Jepang, menerima penerjemahan, menyediakan tenaga Interpreter dan lain lain.

Peta Lokasi JLCC

Peta Lokasi JLCC
JLCC Jl. Sabang No 19 Bandung

Japanese tea ceremony demo

Staff Pengajar JLCC

Staff Pengajar JLCC
Berdiri mulai dari kiri: Ade S Sensei, Herdis Sensei, Jonjon J Sensei, Yuyu Sensei, Sudjianto Sensei Duduk mulai dari kiri : Sisca Sensei, Halina Sensei , Aliawati Sensei, Miyanaga Sensei, Nina Sensei

Berdiri dari kiri ke kanan : Aliawati Sensei, Mariko Sensei, Halina Sensei, Nina Sensei, Sisca Sensei Duduk dari Kiri ke Kanan : Ade S Sensei, Yuyu Sensei, Jonjon J Sensei