Thursday, May 8, 2008

MEMILIH BAHASA JEPANG SEBAGAI BEKAL MENUJU MASA DEPAN

The First Step to be an Entrepreneur
企業家への第一歩
Yuyu Yohana Risagarniwa, M.Ed., Ph.D[*]

A. PENDAHULUAN
Globalisasi dimaknai sebagai dunia yang nyaris tanpa sekat. Pada detik yang sama, peristiwa yang terjadi di belahan dunia manapun akan dapat kita ketahui dengan cepat Hal ini antara lain disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat. Pesatnya perkembangan iptek tersebut diiringi oleh perubahan politik beserta kebijakan yang mau tidak mau, siap tidak siap, kita harus menghadapi kondisi tersebut.
Kondisi ini antara lain sebagai konsekuensi ditandatanganinya AFTA dan menjadi bagian dari WTO (Word Trade Organization) pada masa pemerintahan Orde Baru, menjadikan kita tidak bisa menghindar dari arus global tersebut. Bersamaan dengan itu, perubahan sistem sentralisasi kepada desentralisasi semakin memperlancar ‘serbuan’ pihak luar ke negara kita, yang bisa menyangkut berbagai kepentingan.
Kepentingan tersebut pada gilirannya bukan hanya berhubungan dengan bidang ekonomi dan perdagangan saja, tetapi juga bidang pendidikan, politik, sosial, budaya dan lain-lain. Apalagi dengan telah ditandatanganinya EPA ( Economics Partnership Agreement ) pada bulan Nopember 2006 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, membawa peluang sekaligus konsekuensi semakin terbukanya kesempatan bekerja/berkarir bagi kedua belah pihak di luar negaranya masing-masing.

B. PENGUASAAN BAHASA ASING SEBAGAI MODAL DASAR BANGSA
JEPANG MENUJU ENTREPENEUR SEJATI
Bangsa Jepang menjadi pemenang di kala damai karena keberhasilan kelompok menengah yang menjadi entrepreneur sebagai hasil akumulasi sepanjang sejarahnya yang banyak berbicara mengenai tumbuh kembangnya perusahaan-perusahaan keluarga semacam HONDA, TOYOTA, SONY dll.
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa kemajuan ekonomi yang dicapainya saat ini adalah sebagai dampak dari penerjemahan buku-buku. Penerjemahan buku berbahasa Inggris ke dalam bahasa Jepang dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan Mutsuhito (1868-1912) yang dikenal sebagai Kaisar Meiji.
Sejak itu, Jepang membuka diri pada gagasan-gagasan baru dan pemikiran-pemikiran konseptual asing yang sama sekali bertentangan dengan budaya dan tradisi Jepang saat itu. Pada era modernisasi ini sekelompok budayawan menulis tentang Bummei Kaika ( Jaman Pencerahan ), dengan cara menerjemahkan buku-buku tentang peradaban dan teknologi yang berjudul General History of Civilization in Europe ke dalam bahasa Jepang dengan judul Eikaku Kaikashi. Terjemahan berbagai buku ini menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dengan medium bahasa Jepang sendiri.
Restorasi Meiji ini bertumpu pada pengajaran bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang mengutamakan keterampilan membaca (reading comprehension) dan menerjemahkan (translation). Dengan cara ini, orang-orang Jepang mampu menerjemahkan hampir semua karya yang mereka anggap dapat memperkaya wawasan dan ilmu pengetahuan mereka serta dapat menyerap berbagai kemajuan teknologi sehingga mereka kini dapat memimpin dunia dalam berbagai bidang.
Sejak Restorasi Meiji ini, orang Jepang dapat mencapai dan melampaui apa yang sudah dicapai oleh orang Barat tanpa harus kehilangan ciri kepribadian bangsanya. Keberhasilan bangsa Jepang tersebut dicatat dalam sejarah sebagai bangsa yang berhasil melakukan cultural borrowing dari bangsa lain, di antaranya melalui pengadopsian sistem pendidikan dari berbagai negara mulai dari Cina sampai ke Amerika.
Keberhasilan proses cultural borrowing antara lain didukung oleh penguasaan bangsa Jepang terhadap bahasa asing tersebut. Apa yang dilakukan oleh bangsa Jepang, merupakan fakta bahwa penguasaan bahasa asing, memberikan multiplier effect terhadap berbagai segmen kehidupan bangsa Jepang.

C. ENTREPRENEUR: Sebuah pilihan atau tuntutan?
To be or not to be an Entrepreneur
企業家になるか、ならぬか
Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Nasional Jakarta, Dra. Hj. Isje Ratna Herawati, MBA., MM, mengatakan bahwa, selama ini banyak pengertian yang salah kaprah. seolah-olah menjadi wirausaha, berarti hidup dalam dunia yang penuh spekulatif. Sehingga mahasiswa masih lebih memilih untuk mencari pekerjaan, karena dianggap mampu memberi penghasilan yang lebih pasti. Demikian pun para orang tua yang lebih merasa tenang bila anaknya diterima bekerja di suatu perusahaan, ketimbang memilih untuk berwirausaha. Padahal, berwirausaha bukan berarti melakukan suatu usaha secara spekulatif. Justru, wirausahawan adalah orang yang disiplin, dan penuh perhitungan.
Pendapat lain menghambat mahasiswa berwirausaha adalah seolah-olah untuk membuka usaha itu harus memiliki bakat. Padahal, setiap manusia pada dasarnya mempunyai jiwa kewirausahaan. Hal itu ditandai dengan fitrah manusia yang senantiasa ingin berprestasi. Untuk berprestasi, manusia harus mengasah kreativitasnya, hingga menciptakan inovasi-inovasi baru. Demikian pula pada kewirausahaan. Seorang wirausaha akan berusaha melakukan terobosan baru untuk menciptakan produk-produk yang inovatif. Oleh karena itu, wirausaha tidak sama dengan wiraswasta.
Meskipun banyak orang yang berpendapat bahwa wiraswasta dan wirausaha adalah dua hal yang sama, tetapi sebenarnya berbeda. Wiraswasta artinya orang menjual produk yang sudah jadi. Misalnya, membeli pakaian jadi dari grosir, kemudian menjualnya dengan harga yang lebih tinggi, Sementara, wirausaha, adalah orang yang mengembangkan sesuatu yang mungkin telah ada, hingga tercipta produk yang baru.
Misalnya, pisang goreng. Semua orang tentu mengenal penganan berbahan dasar pisang  tersebut. Bila kemudian ada orang yang menjual dengan aneka rasa, seperti pisang goreng rasa stawberry, rasa coklat, dan rasa keju, misalnya, ditambah dapat dipesan melalui SMS (short messaging service),itulah yang dimaksud dengan wirausaha. Contoh lain, dulu singkong dan keju ditempatkan sebagai satu hal yang kontras; keju lambang kemakmuran dan singkong lambang kemiskinan, kemelaratan, tetapi sekarang dua hal yang sangat berbeda tersebut dipertemukan menjadi ‘singkong keju’. Hal-hal seperti ini hanya contoh sederhana spirit wirausaha yang sarat dengan inovasi. Wirausaha, tidak sekedar berdagang, karena, siapapun dapat berdagang. Berwirausaha pada dasarnya memadukan ilmu, dan kreativitas. Dengan kata lain seorang entrepreneur itu adalah orang yang pandai memanfaatkan peluang
Jiwa wirausaha (entrepreneuship), memerlukan motivasi yang bagus, intelegensi yang cukup baik, dan selalu mencari hal yang baru untuk bisa dikembangkan. Sayangnya, hal-hal tersebut di sekolah kurang mendapat perhatian. Kebanyakan sekolah di kita masih terfokus pada pengembangan kecerdasan intelegensi saja. Sementara kreativitas masih kurang dikembangkan.
Hal ini sangat kontras dengan sistem pendidikan di Jepang yang memadukan harmonisasi antara pengembangan kecerdasan intelegensia dengan kreativitas siswa/mahasiswa baik secara individual maupun kelompok. Mereka dituntut untuk selalu aktif, kreatif dan inovatif.
Satu hal lagi yang cukup penting, selain selalu dituntut untuk kreatif dan inovatif, para siswa/mahasiswa dituntut juga untuk dapat mengatasi segala permasalahan dan tantangan yang ada (problem solving). Artinya para siswa/mahasiswa harus mampu memecahkan segala macam masalah dan persoalan yang dihadapinya dengan penuh tanggung-jawab dan berpijak pada solusi.
Dengan menyikapi beberapa hal tersebut di atas, pada akhirnya bisa kita katakan bahwa menjadi atau tidak menjadi seorang entrepreneur bukanlah suatu pilihan ataupun keharusan. Tetapi untuk menjadi atau tidak menjadi entrepreneur adalah sebuah solusi. Artinya, memilih untuk menjadi seorang entrepreneur, tidak serta merta mengabaikan kesempatan untuk berkarir dengan cara memilih bekerja sebagai seorang karyawan ataupun sebagai individu yang merupakan bagian dari sekelompok manusia ataupun sebuah organisasi yang sedang melakukan aktivitas pekerjaan.

D. SEMANGAT ENTREPRENEURSHIP DALAM PENGEMBANGAN KARIR
Harus diakui bahwa seorang individu tidak selalu dapat menggantungkan hidupnya pada organisasi, sebab tanggung jawab pengembangan karir seseorang didorong menjadi tanggung jawab individu. Seseorang harus mencari nilai tambah bagi dirinya sendiri sehingga lebih luwes dalam berkarir termasuk menciptakan peluang-peluang bagi dirinya sendiri. Semangat menciptakan peluang-peluang dalam upaya meraih berbagai kesempatan untuk mengembangkan diri tersebut tidak lain adalah semangat entrepreneurship.
Dengan kata lain, semangat entrepreneurship ini tidak semata-mata hanya diperlukan pada saat seseorang bermaksud untuk berwiraswasta, akan tetapi diperlukan juga pada saat dirinya memilih untuk berkarir sebagai seorang pekerja atau karyawan pada sebuah perusahaan misalnya.
Sebuah media lokal di Jawa Barat menulis tentang keberhasilan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri yang berhasil menduduki posisi-posisi TOP Manajer di perusahaan multinasional. Mereka adalah yang ‘hengkang’ ke luar negeri pasca krisis moneter, dengan berbagai latar belakang PHK atau sebab-sebab lain. Dipastikan bahwa prestasi mereka di samping kemampuannya dalam skill manajemen juga karena penguasaannya terhadap bahasa asing di negara di mana mereka bekerja.
Sebaliknya, permasalahan rendahnya kualitas tenaga kerja juga tercermin pada TKI yang bekerja di luar negeri, di mana 70% TKI masih bekerja pada jabatan berketerampilan rendah (unskilled worker) seperti pembantu rumah tangga, telah diungkapkan oleh Menakertrans kala itu, Jacob Nuwa Wea, dalam sebuah artikel yang telah ditulisnya dengan judul Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja (Pikiran Rakyat, 25 Juni 2004).
Disamping karena rendahnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, juga karena kurangnya penguasaan bahasa, budaya, dan adat istiadat di negara tujuan. Hal tersebut telah mengakibatkan TKI kita kalah bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain seperti Filipina, Srilangka, dan Bangladesh. Dan bahkan lebih parahnya lagi telah mengukir cerita-cerita yang menyedihkan.
Penguasaan terhadap beberapa atau salah satu bahasa asing selain akan dirasa sebagai suatu kebutuhan yang sangat signifikan, juga merupakan suatu solusi yang terbaik dalam menghadapi situasi seperti itu, mengingat fungsi bahasa sebagai alat komunikasi akan memudahkan dan melancarkan seseorang atau sekelompok orang di dalam menyampaikan ide-ide, konsep dan seluruh subtansi pembicaraan secara optimal.
Sebagai contoh untuk menghadapi bangsa Jepang yang terkenal dengan ‘cauvinisme’ nya (yaitu semangat dan fanatisme atau kebanggaan dan rasa percaya diri yang tinggi terhadap segala sesuatu yang dimilikinya termasuk penggunaan bahasa Jepang), walaupun tidak ada aturan atau undang-undang seperti di Belanda [Belanda telah menerapkan aturan bagi setiap orang (asing) yang tinggal di sana harus bisa berbahasa Belanda] (Kompas, 2 Sept.2006), pada kenyataannya adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi jika berniat tinggal atau bahkan bekerja di Jepang, maka penguasaan bahasa Jepang mutlak diperlukan.
Dihadapkan pada kondisi-kondisi tersebut di atas, tentunya kita harus lebih sigap dan bijak, pandai memanfaatkan peluang sebagai wujud nyata spirit entrepreneurship di dalam menyikapi setiap fenomena yang terjadi. Di antaranya dengan terus melakukan penggalian dan berbagai pembaharuan (inovasi) yang berhubungan dengan penguasaan bahasa Jepang.
Dengan lebih memahami dan menguasai bahasa Jepang, diharapkan kita tidak lagi hanya sekedar mengisi segmen kelas bawah , tetapi kita juga bisa mengisi kekosongan-kekosongan pada segmen kelas menengah dan bahkan segmen kelas atas bursa tenaga kerja di Jepang.

E. PENUTUP
Melalui beberapa ilustrasi di atas cukup jelas bahwa ‘wirausaha’ merupakan upaya yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab serta menuntut banyak kreativitas dan inovasi-inovasi segar. Penguasaan terhadap bahasa asing terutama bahasa Jepang memiliki prospek yang cukup menjanjikan. Ketersediaan lapangan pekerjaan, jika menguasai bahasa jepang tidak lagi terbatas pada lapangan pekerjaan yang ada di negara kita. Hal ini tercermin dari semakin bertambahnya jumlah permintaan pihak Jepang terhadap Tenaga Kerja Indonesia melalui program-program magang yang dilaksanakan sebagai bagian dari program kerjasama kedua negara. Oleh karena itu, wawasan yang mengglobal menjadi satu aspek yang tidak kalah pentingnya dengan penguasaan bahasa itu sendiri. Maksudnya, kita juga perlu melengkapi penguasaan bahasa Jepang kita dengan wawasan yang lebih luas atau melengkapinya dengan keterampilan lain.
Salah satu wawasan yang mengglobal di antaranya yang saat ini menjadi trend di setiap insitusi, termasuk institusi pendidikan adalah wawasan dan kompetensi dalam bidang kewirausahaan (enterpreneurship). Mc Cleeland (Yugo:1997),seperti yang dikutip Yulifar(2004), mengemukakan bahwa semangat kewirausahaanlah yang mendorong perekonomian suatu bangsa. Mc Cleeland menekankan pada sisi berprestasi yang kuat (need for achievment), yang tidak semata-mata hanya mencari keuntungan (profit). Semangat ini, jika dapat kita adopsi , maka kita akan selalu berada pada posisi yang memiliki benefit dari prestasi demi prestasi yang kita capai. Kemudian yang tidak kalah pentingnya juga, wawasan lain yang harus dikuasai adalah bidang IT. Aspek ini adalah bagian yang paling cepat mengalami perubahan, contohnya sistem komunikasi dan teknologi yang berbasis komputer.
Menghadapi era pasar global, kita juga harus banyak melihat perkembangan yang terjadi di dalam dunia usaha. Sedangkan di dalam dunia pendidikan , dapat dilakukan dengan memunculkan kurikulum-kurikulum yang mendukung peningkatan softskill peserta didik dan mencerminkan apa yang diinginkan oleh dunia kerja. Oleh karena itu penulis sangat appreciate sekali dengan munculnya kurikulum-kurikulum yang bermuatkan tentang kewirausahaan atau entrepreneurship.

F. Bahan Bacaan
Eiichiro Ishida, Manusia dan Kebudayaan Jepang (Alih bahasa: Dr.Arifin Bey,M.A.), Center for Japanese Studies Univ.Nasional Press.PT.Dian Rakyat, Jakarta 1986
Jacob Nuwa Wea, Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja
Pikiran Rakyat Edisi Jumat, 25 Juni 2004
Leli Yulifar, Pelaksanaan Sistem Pendidikan di Jepang Setelah Restorasi Meiji (1868), Skripsi Sarjana, IKIP Bandung 1989.
Pentingnya Komunitas UKM Berbasis Teknologi Internet, “Entrepreneur” Edisi 7Peb-7Maret 2004.
Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta-Indonesia, 2000.
Yenti Aprianti, Kompas, Pelajari Bahasa Asing untuk Belajar di Negeri Asing, Edisi Sabtu, 2 September 2006
Yuyu Yohana R, Beberapa Permasalahan yang Muncul pada Proses Penerjemahan Cerpen KAZE NO MATA SABURO, Ronbunshu, UPT.Pusat Studi Bahasa Jepang Unpad, Jatinangor, 1998.
* Staf pengajar jurusan Bahasa dan Sastra Jepang dan Kepala Pusat Kerjasama Dalam dan Luar Negeri Fak.Sastra Unpad; Pimpinan JLCC; Lulusan program doktor Univ.Nagoya-Japan.

Sekilas JLCC


BIaya kursus JLCC 2009

PROGRAM STUDI DI JLCC

Dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat, JLCC menyelenggarakan :

Kelas Reguler
Tingkat Dasar 1 (Shokyu Nihongo 1)
Tingkat Dasar 2 (Shokyu Nihongo 2)
Tingkat Dasar 3 (Shokyu Nihongo 3)
Tingkat Dasar 4 (Shokyu Nihongo 4)

Keterangan
setiap tingkat ditempuh dalam waktu 4 bulan
Jumlah pertemuan 1 minggu 2 x 90 menit
minimal 10 peserta / kelas

Kelas Lanjutan
Tingkat Lanjutan 1 (Chukyu Nihongo 1)
Tingkat Lanjutan 2 (Chukyu Nihongo 2)
Tingkat Lanjutan 3 (Chukyu Nihongo 3)

Keterangan
setiap tingkat ditempuh dalam waktu 4 bulan
jumlah peremuan 1 minggu 2 x 90 menit
Minimal 10 peserta / kelas

Kelas Intensive
Materi pengajaran, biaya pendaftaran & biaya Kursus kelas Intensive ini pada dasarnya sama dengan kelas reguler, hanya waktu pelaksanaan dipadatkan menjadi 2 bulan dengan jumlah pertemuna 4 x 1 minggu, masing masing pertemuan 90 menit

Kelas Percakapan (KAIWA)
Percakapan Dasar (KAIWA 1)
Percakapan Lanjutan (KAIWA 2)
Percakapan Lanjutan (KAIWA 3)

Keterangan
Setiap tingkat ditempuh dalam waktu 4 bulan
Jumlah pertemuan 1 mingu 2 x 90 menit
Minimal 5 peserta/kelas

Kelas Percakapan ini diperuntukan bagai siswa yang minimal sudah menyelesaikan Tingkat Dasar 3 (Shokyu Nihongo 3) atau setara dengan itu.

Selain paket paket program tersebut di atas, JLCC juga menyediakan beberapa paket lain seperti Kelas Private, Kelas Bahasa Indonesia untuk orang Jepang, menerima penerjemahan, menyediakan tenaga Interpreter dan lain lain.

Peta Lokasi JLCC

Peta Lokasi JLCC
JLCC Jl. Sabang No 19 Bandung

Japanese tea ceremony demo

Staff Pengajar JLCC

Staff Pengajar JLCC
Berdiri mulai dari kiri: Ade S Sensei, Herdis Sensei, Jonjon J Sensei, Yuyu Sensei, Sudjianto Sensei Duduk mulai dari kiri : Sisca Sensei, Halina Sensei , Aliawati Sensei, Miyanaga Sensei, Nina Sensei

Berdiri dari kiri ke kanan : Aliawati Sensei, Mariko Sensei, Halina Sensei, Nina Sensei, Sisca Sensei Duduk dari Kiri ke Kanan : Ade S Sensei, Yuyu Sensei, Jonjon J Sensei